Cover novel Committed |
Keterangan Buku:
Judul: Committed
Penulis: Elizabeth Gilbert
Penerbit: Qanita
Tahun Terbit: 2011
Penerjemah: Harisa Permatasari
“Tidak ada risiko yang lebih besar daripada pernikahan. Namun, tidak
ada yang lebih membahagiakan daripada sebuah pernikahan bahagia”—Benjamin
Disraeli 1870, dalam sepucuk surat kepada putri Ratu Victoria, Louise,
mengucapkan selamat atas pertunangannya.
Kalimat tersebut mengawali buku yang ditulis Elizabeth
Gilbert sebagai kelanjutan dari novel sebelumnya yang ditulis berdasarkan
kisahnya sendiri, Eat, Pray Love.
Elizabeth Gilbert |
Pertama-tama saya mau jujur kalau saya belum membaca novel Eat, Pray, Love yang seharusnya saya
baca terlebih dahulu sebelum membaca Committed ini, namun saya bersyukur karena
Liz menceritakan kembali kisahnya di novel lanjutannya ini hingga saya mengerti inti kisahnya sebelumnya. Meskipun mungkin
sedikit membosankan untuk pembaca novel Eat,
Pray, Love yang mengetahui kisah secara keseluruhannya.
Kedua, saya masih
berusia tujuh belas tahun ketika saya membaca novel ini, meskipun ditahun
berikutnya ketika saya menginjak usia 18 tahun dapat menyelesaikan proses
membacanya secara keseluruhan. Karena sejujurnya, novel ini berat banget untuk
seorang remaja yang baru saja lulus SMA—atau khususnya untuk saya pribadi.
Tetapi setelah saya bersabar untuk terus melanjutkan sampai tuntas, tidak ada
kekecewaan setelah menyantap novel setebal 486 halaman ini. Huft, senangnya.
Banyak hal yang bisa saya pelajaran dari semua pengalaman Liz. Meskipun sebuah
‘married’ belum terbayangkan, ya, masih remaja juga, kok. Hahaha, well, daripada banyak cincong, berikut
ini saya rangkum Kutipan Menarik dari novel Committed, let’s check this
out!
Menjelang akhir perjalanan itu, aku bertemu Felipe yang
tinggal menyepi dan sendirian di Bali selama bertahun-tahun mengobati sakit
hatinya sendiri. Yang terjadi selanjutnya adalah ketertarikan, lalu tahap
pengenalan yang dilakukan secara perlahan, kemudian, yang membuat kami
sama-sama takjub, cinta.
Kami juga sudah menyadari bahwa pernikahan adalah sebuah
bangunan yang lebih mudah untuk dimasukki dibandingkan ditinggalkan. Tanpa
adanya pagar hukum, kekasih yang tidak menikah bisa mengakhiri sebuah hubungan
buruk kapan saja. Namun, kau—orang yang menikah resmi dan ingin melarikan diri
dari cinta yang kandas—akan segera mengetahui bahwa ada porsi yang cukup
signifikan dari kontrak pernikahanmu yang merupakan milik negara, dan terkadang
membutuhkan waktu yang cukup lama hingga akhirnya negara mengizinkan
kepergianmu. Sehingga, kau akan mendapati dirimu terjebak selama berbulan-bulan
atau bahkan bertahun-tahun dalam sebuah ikatan resmi tanpa cinta yang sudah
terasa bagaikan sebuah bangunan yang terbakar.
“Menyerupai cinta, tapi tanpa permasalahan cinta.”—Garcia
Marquez.
“Seekor ikan dan seekor burung mungkin saja saling jatuh
cinta, tapi di mana mereka akan tinggal?”—peribahasa kuno.
Namun, takdir ikut campur dan menuntut pernikahan dariku, dan
aku sudah cukup banyak belajar dari pengalaman hirup untuk memahami bahwa
campur tangan takdir terkadang bisa diartikan sebagai undangan yang harus kita
hadiri, bahkan meski kita harus mengalahkan ketakutan terbesar kita. Tidak
perlu menjadi seorang genius untuk memahaminya jika keadaan memaksamu untuk
melakukan satu-satunya hal yang selalu kau benci dan takuti, setidaknya hal ini
bisa menjadi sebuah kesempatan menarik
untuk tumbuh.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, baru terpikir olehku bahwa
mungkin aku menuntut terlalu banyak dalam masalah cinta, atau setidaknya
meminta terlalu banyak hal dalam pernikahan. Mungkin aku memuat kargo harapan
yang jauh lebih berat di atas perahu pernikahan yang sudah tua dan renyot itu,
melebihi dari yang seharusnya sanggup ditanggung sejak awal.
Jika kau sungguh-sungguh menginginkan sebuah masyarakat yang
orang-orangnya bisa memilih pasangan mereka sendiri atas dasar rasa suka
pribadi, kau harus mempersiapkan diri
untuk hal-hal yang tak bisa kau tolak. Akan ada patah hati; akan ada
kehidupan yang hancur.
Sumpah yang diucapkan pada hari pernikahan adalah sebuah usaha
mulia untuk melawan kerapuhan ini, untuk menyakinkan diri kita
bahwa—sesungguhnya—apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa,
tidak akan bisa dipisahkan oleh manusia. Namun, sayangnya bukan Tuhan Yang Maha
Kuasa yang mengucapkan sumpah pernikahan itu, manusia (tidak maha kuasa)
yang melakukannya, dan manusia selalu bisa mengoyak sebuah sumpah.
Buddha mengajarkan bahwa semua penderitaan yang dialami
manusia berasal dari gairah.
Bukankah kita semua menyadari hal tersebut memang
benar adanya? Siapa pun diantara kita yang pernah mendambakan sesuatu dan tidak
mendapatkannya ( atau lebih parah lagi, mendapatkannya lalu kehilangannya )
paham betul penderitaan yang dibicarakan oleh Buddha. Mendambakan seseorang
mungkin merupakan usaha yang paling beresiko. Begitu kau menginginkan
seseorang—benar-benar menginginkannya—rasanya seakan-akan sudah mengambil
sebuah jarum dan menjahit kebahagiaanmu pada kulit orang tersebut, sehingga
perpisahan seperti apa pu akan memberimu luka yang dalam. Satu-satunya hal yang
kau ketahui adalah kau harus mendapatkan objek dambaanmu dengan cara apa pun,
dan tidak akan terpisahkan lagi. Satu-satunya hal yang bisa kau pikirkan adalah
orang kesayanganmu. Tenggelam dalam desakan primitif, kau tidak menjadi dirimu
sendiri seutuhnya. Kau sudah menjadi seorang pelayan yang mengabdi pada
keinginanmu sendiri.
Seperti inilah rasa kasmaran dimulai. Dan kasmaran merupakan
aspek paling membahayakan dari gairah manusia. Kasmaran mengarah pada sesuatu
yang oleh para psikolog disebut “pemikiran mengganggu” Kondisi pikiran
teralihkan, yang membuatmu tidak bisa berkonsentrasi pada apa pun selain objek
obsesimu. Begitu kasmaran menyerang, semua hal lain—pekerjaan, hubungan,
tanggung jawab, manakanan, tidur, pekerjaan—jadi tak penting saat kau memupuk fantasi
mengenai orang tersayang yang dengan cepat berubah menjadi repetitif, invasif,
dan menyita. Kasmaran mengubah susunan kimiawi otakmu, seakan-akan kau
mencekoki dirimu dengan candu dan stimulan... dijelaskan oleh Dr. Helen Fisher,
seorang antropolog dan ahli kasmaran.
Bersikap rasional dan mantap untuk menghadapi dunia.
Ketika kau kasmaran dengan seseorang, kau tidak
sungguh-sungguh menatap orangnya; kau hanya terpesona oleh bayanganmu sendiri,
mabuk kepayang oleh mimpi keutuhan yang sudah kau proyeksikan pada orang asing
dalam dunia maya. Dalam keadaan seperti itu, kita cenderung memutuskan berbagai
macam hal spektakuler mengenai kekasih kita yang mungkin atau mungkin juga
tidak benar. Kita melihat sesuatu yang nyaris ilahiah pada diri orang yang kita
cintai, bahkan saat teman dan keluarga kita mungkin tidak bisa melihatnya.
Sebuah hubungan yang dilandasi kasmaran adalah sebuah zona
tanpa akal sehat, tanpa perspektif dan rasio yang jelas. Freud terang-terangan
menggambarkan kasmaran sebagai “penilaian berlebihan terhadap objeknya,” dan
Goethe bahkan menggambarkannya dengan lebih baik lagi: “Ketika dua orang saling
mencintai, salah seorang biasanya salah tanggap.”
Apakah kedewasaan emosional hanya menghampiri kita melalui
pengalaman dan pelajaran dari kegagalan percintaan masa muda?
Aku tidak yakin apakah aku memahami pernyataan yang terus
diulang bahwa entah bagaimana kau memegang kendali atas apa yang terjadi di
dalam dan di sekitar hubunganmu.
Meskipun hati manusia mungkin memang bisa ditembus oleh gairah
tak terkendali, dan sementara dunia mungkin dipenuhi oleh makhluk-makhluk
menawan dan pilihan-pilihan menggiurkan lainnya, sepertinya seseorang memang
sanggup membuat sebuah pilihan berpandangan jernih yang membatasi dan menngendalikan
risiko kasmaran. Dan jika kau mengkhawatirkan “masalah” yang akan datang di
dalam pernikahanmu, sebaiknya kau memahami bahwa masalah tidak selalu berarti
sesuatu yang selalu “terjadi begitu saja”; masalah sering kali dipupuk dengan
ceroboh dalam cawan-cawan kecil yang kita sebarkan di seluruh penjuru kota.
“Lebih mudah dan murah untuk menjaga agar sungai tidak
terkontaminasi sejak awal daripada membersihkannya setelah terkena
polusi.”—Ayah Liz.
Kau tidak akan pernah bisa menduga kapan bom akan meledak.
Buddha mengajarkan bahwa sebagian besar masalah—seandainya kau
memberinya waktu dan ruang yang cukup—pada akhirnya akan memudar sendiri.
“Jangan pernah menghitung telurmu saat mereka masih ada di
dalam bokong ayam.”
Kita semua tahu bahwa orang-orang yang memiliki orangtua
bercerai lebih mungkin bercerai suatu hari nanti—sekan-akan perceraian
menurunkan perceraian—dan berbagai contohnya tersebar diseluruh generasi.
Semakin muda usiamu saat menikah, semakin besar kemungkinanmu
untuk bercerai. Bahkan, kau sangat mungkin bercerai jika menikah muda. Kau
contohnya, 2 hingga 3 kali lebih mungkin bercerai jika menikah diusia belasan
atau awal 20-an daripada jika kau menunggu hingga berusia 30-an atau 40-an.
Alasannya sangat jelas hingga aku ragu-ragu untuk menyebutkannya satu per satu
karena takut menyinggung pembacaku, tapi ini dia: Saat masih sangat muda, kita
cenderung lebih tidak bertanggung jawab, lebih tidak sadar diri, lebih ceroboh,
dan lebih labil secara ekonomi dibandingkan saat kita berusia lebih tua.
Yang bertolak belakang memang
saling menarik, tapi tidak selamanya bertahan.
Nyaris tidak ada hal yang lebih berharga untuk diberikan pada
orang lain selain untuk menerima mereka sepenuhnya, mencintai mereka nyaris
tanpa memedulikan seperti apa mereka.
“Semua manusia memiliki kekurangan”—Eleanor Roosevelt.
Semakin mandiri secara finansial, seorang wanita akan menikah
dalam usia yang lebih tua, itu pun jika mereka memutuskan untuk menikah.
Selain ketidaksetiaan dan penyiksaan, tidak ada yang merusak
sebuah hubungan lebih cepat daripada
kemiskinan, kebangkrutan, dan utang.
Uang memberikan masalah tersendiri—tapi uang juga memberi
berbagai pilihan.
Yang menyebabkan orang-orang ragu (untuk berkomitmen bukanlah
sikap pengecut. Tapi kenyataan pahit.
Perceraian sangat menyebalkan untuk anak-anak, dan hal itu
bisa meninggalkan bekas luka psikologis yang susah hilang.
Tabung uangmu, bersihkan gigimu, gunakan sabuk pengaman, dan
tetap sehat—dan suatu hari nanti kau akan menjadi seekor burung yang sangat
bahagia.
Terkadang kehidupan memang kacau dan gagal. Kita melalukan
yang terbaik yang bisa kita lakukan. Kita tidak selalu tahu tindakan apa yang
paling tepat.
“Sebuah perceraian mungkin dianggap sebagai sebuah kemalangan,
tapi dua perceraian bisa dianggap sebagai tamparan kecerobohan.”—Oscar Wilde.
Pendapat saya secara personal; saya menyetujui dengan opini
pribadi dan beberapa kutipan yang Elizabeth tulis dari berbagai pembicara atau
seorang tokoh dalam bukunya ini, saya memang belum pernah menikah tetapi saya
lahir dari kedua orang tua yang bercerai sejak saya berusia satu tahun. Tetapi
saya percaya, “Setiap manusia memang tidak bisa memilih darimana mereka
dilahirkan, tetapi mereka bisa memilih masa depan seperti apa yang mereka
inginkan.” Saya ingin menganjurkan kepada pembaca untuk terlebih dahulu membaca
Eat, Pray, Love sebelum membaca Comitted, dan membaca novel Committed secara
keseluruhan dalam keadaan santai. Karena mungkin Anda akan merasa sangat bosan
dengan novel ini.
Terima kasih. :)
0 komentar:
Post a Comment