Monday, May 22, 2017

Kutipan Menarik Dari Novel Committed by Elizabeth Gilbert

Cover novel Committed
Keterangan Buku:
Judul: Committed
Penulis: Elizabeth Gilbert
Penerbit: Qanita
Tahun Terbit: 2011
Penerjemah: Harisa Permatasari


“Tidak ada risiko yang lebih besar daripada pernikahan. Namun, tidak ada yang lebih membahagiakan daripada sebuah pernikahan bahagia”—Benjamin Disraeli 1870, dalam sepucuk surat kepada putri Ratu Victoria, Louise, mengucapkan selamat atas pertunangannya.


Kalimat tersebut mengawali buku yang ditulis Elizabeth Gilbert sebagai kelanjutan dari novel sebelumnya yang ditulis berdasarkan kisahnya sendiri, Eat, Pray Love.

Elizabeth Gilbert


Pertama-tama saya mau jujur kalau saya belum membaca novel Eat, Pray, Love yang seharusnya saya baca terlebih dahulu sebelum membaca Committed ini, namun saya bersyukur karena Liz menceritakan kembali kisahnya di novel lanjutannya ini hingga saya mengerti inti kisahnya sebelumnya. Meskipun mungkin sedikit membosankan untuk pembaca novel Eat, Pray, Love yang mengetahui kisah secara keseluruhannya.
Kedua, saya masih berusia tujuh belas tahun ketika saya membaca novel ini, meskipun ditahun berikutnya ketika saya menginjak usia 18 tahun dapat menyelesaikan proses membacanya secara keseluruhan. Karena sejujurnya, novel ini berat banget untuk seorang remaja yang baru saja lulus SMA—atau khususnya untuk saya pribadi. Tetapi setelah saya bersabar untuk terus melanjutkan sampai tuntas, tidak ada kekecewaan setelah menyantap novel setebal 486 halaman ini. Huft, senangnya. Banyak hal yang bisa saya pelajaran dari semua pengalaman Liz. Meskipun sebuah ‘married’ belum terbayangkan, ya, masih remaja juga, kok. Hahaha, well, daripada banyak cincong, berikut ini saya rangkum Kutipan Menarik dari novel Committed, let’s check this out!

Menjelang akhir perjalanan itu, aku bertemu Felipe yang tinggal menyepi dan sendirian di Bali selama bertahun-tahun mengobati sakit hatinya sendiri. Yang terjadi selanjutnya adalah ketertarikan, lalu tahap pengenalan yang dilakukan secara perlahan, kemudian, yang membuat kami sama-sama takjub, cinta.

Kami juga sudah menyadari bahwa pernikahan adalah sebuah bangunan yang lebih mudah untuk dimasukki dibandingkan ditinggalkan. Tanpa adanya pagar hukum, kekasih yang tidak menikah bisa mengakhiri sebuah hubungan buruk kapan saja. Namun, kau—orang yang menikah resmi dan ingin melarikan diri dari cinta yang kandas—akan segera mengetahui bahwa ada porsi yang cukup signifikan dari kontrak pernikahanmu yang merupakan milik negara, dan terkadang membutuhkan waktu yang cukup lama hingga akhirnya negara mengizinkan kepergianmu. Sehingga, kau akan mendapati dirimu terjebak selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun dalam sebuah ikatan resmi tanpa cinta yang sudah terasa bagaikan sebuah bangunan yang terbakar.

“Menyerupai cinta, tapi tanpa permasalahan cinta.”—Garcia Marquez.

“Seekor ikan dan seekor burung mungkin saja saling jatuh cinta, tapi di mana mereka akan tinggal?”—peribahasa kuno.

Namun, takdir ikut campur dan menuntut pernikahan dariku, dan aku sudah cukup banyak belajar dari pengalaman hirup untuk memahami bahwa campur tangan takdir terkadang bisa diartikan sebagai undangan yang harus kita hadiri, bahkan meski kita harus mengalahkan ketakutan terbesar kita. Tidak perlu menjadi seorang genius untuk memahaminya jika keadaan memaksamu untuk melakukan satu-satunya hal yang selalu kau benci dan takuti, setidaknya hal ini bisa menjadi sebuah kesempatan menarik untuk tumbuh.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, baru terpikir olehku bahwa mungkin aku menuntut terlalu banyak dalam masalah cinta, atau setidaknya meminta terlalu banyak hal dalam pernikahan. Mungkin aku memuat kargo harapan yang jauh lebih berat di atas perahu pernikahan yang sudah tua dan renyot itu, melebihi dari yang seharusnya sanggup ditanggung sejak awal.

Jika kau sungguh-sungguh menginginkan sebuah masyarakat yang orang-orangnya bisa memilih pasangan mereka sendiri atas dasar rasa suka pribadi, kau harus mempersiapkan diri  untuk hal-hal yang tak bisa kau tolak. Akan ada patah hati; akan ada kehidupan yang hancur.

Sumpah yang diucapkan pada hari pernikahan adalah sebuah usaha mulia untuk melawan kerapuhan ini, untuk menyakinkan diri kita bahwa—sesungguhnya—apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak akan bisa dipisahkan oleh manusia. Namun, sayangnya bukan Tuhan Yang Maha Kuasa yang mengucapkan sumpah pernikahan itu, manusia (tidak maha kuasa) yang melakukannya, dan manusia selalu bisa mengoyak sebuah sumpah.

Buddha mengajarkan bahwa semua penderitaan yang dialami manusia berasal dari gairah.

Bukankah kita semua menyadari hal tersebut memang benar adanya? Siapa pun diantara kita yang pernah mendambakan sesuatu dan tidak mendapatkannya ( atau lebih parah lagi, mendapatkannya lalu kehilangannya ) paham betul penderitaan yang dibicarakan oleh Buddha. Mendambakan seseorang mungkin merupakan usaha yang paling beresiko. Begitu kau menginginkan seseorang—benar-benar menginginkannya—rasanya seakan-akan sudah mengambil sebuah jarum dan menjahit kebahagiaanmu pada kulit orang tersebut, sehingga perpisahan seperti apa pu akan memberimu luka yang dalam. Satu-satunya hal yang kau ketahui adalah kau harus mendapatkan objek dambaanmu dengan cara apa pun, dan tidak akan terpisahkan lagi. Satu-satunya hal yang bisa kau pikirkan adalah orang kesayanganmu. Tenggelam dalam desakan primitif, kau tidak menjadi dirimu sendiri seutuhnya. Kau sudah menjadi seorang pelayan yang mengabdi pada keinginanmu sendiri.

Seperti inilah rasa kasmaran dimulai. Dan kasmaran merupakan aspek paling membahayakan dari gairah manusia. Kasmaran mengarah pada sesuatu yang oleh para psikolog disebut “pemikiran mengganggu” Kondisi pikiran teralihkan, yang membuatmu tidak bisa berkonsentrasi pada apa pun selain objek obsesimu. Begitu kasmaran menyerang, semua hal lain—pekerjaan, hubungan, tanggung jawab, manakanan, tidur, pekerjaan—jadi tak penting saat kau memupuk fantasi mengenai orang tersayang yang dengan cepat berubah menjadi repetitif, invasif, dan menyita. Kasmaran mengubah susunan kimiawi otakmu, seakan-akan kau mencekoki dirimu dengan candu dan stimulan... dijelaskan oleh Dr. Helen Fisher, seorang antropolog dan ahli kasmaran.

Bersikap rasional dan mantap untuk menghadapi dunia.

Ketika kau kasmaran dengan seseorang, kau tidak sungguh-sungguh menatap orangnya; kau hanya terpesona oleh bayanganmu sendiri, mabuk kepayang oleh mimpi keutuhan yang sudah kau proyeksikan pada orang asing dalam dunia maya. Dalam keadaan seperti itu, kita cenderung memutuskan berbagai macam hal spektakuler mengenai kekasih kita yang mungkin atau mungkin juga tidak benar. Kita melihat sesuatu yang nyaris ilahiah pada diri orang yang kita cintai, bahkan saat teman dan keluarga kita mungkin tidak bisa melihatnya.

Sebuah hubungan yang dilandasi kasmaran adalah sebuah zona tanpa akal sehat, tanpa perspektif dan rasio yang jelas. Freud terang-terangan menggambarkan kasmaran sebagai “penilaian berlebihan terhadap objeknya,” dan Goethe bahkan menggambarkannya dengan lebih baik lagi: “Ketika dua orang saling mencintai, salah seorang biasanya salah tanggap.”

Apakah kedewasaan emosional hanya menghampiri kita melalui pengalaman dan pelajaran dari kegagalan percintaan masa muda?

Aku tidak yakin apakah aku memahami pernyataan yang terus diulang bahwa entah bagaimana kau memegang kendali atas apa yang terjadi di dalam dan di sekitar hubunganmu.

Meskipun hati manusia mungkin memang bisa ditembus oleh gairah tak terkendali, dan sementara dunia mungkin dipenuhi oleh makhluk-makhluk menawan dan pilihan-pilihan menggiurkan lainnya, sepertinya seseorang memang sanggup membuat sebuah pilihan berpandangan jernih yang membatasi dan menngendalikan risiko kasmaran. Dan jika kau mengkhawatirkan “masalah” yang akan datang di dalam pernikahanmu, sebaiknya kau memahami bahwa masalah tidak selalu berarti sesuatu yang selalu “terjadi begitu saja”; masalah sering kali dipupuk dengan ceroboh dalam cawan-cawan kecil yang kita sebarkan di seluruh penjuru kota.

“Lebih mudah dan murah untuk menjaga agar sungai tidak terkontaminasi sejak awal daripada membersihkannya setelah terkena polusi.”—Ayah Liz.

Kau tidak akan pernah bisa menduga kapan bom akan meledak.

Buddha mengajarkan bahwa sebagian besar masalah—seandainya kau memberinya waktu dan ruang yang cukup—pada akhirnya akan memudar sendiri.

“Jangan pernah menghitung telurmu saat mereka masih ada di dalam bokong ayam.”

Kita semua tahu bahwa orang-orang yang memiliki orangtua bercerai lebih mungkin bercerai suatu hari nanti—sekan-akan perceraian menurunkan perceraian—dan berbagai contohnya tersebar diseluruh generasi.

Semakin muda usiamu saat menikah, semakin besar kemungkinanmu untuk bercerai. Bahkan, kau sangat mungkin bercerai jika menikah muda. Kau contohnya, 2 hingga 3 kali lebih mungkin bercerai jika menikah diusia belasan atau awal 20-an daripada jika kau menunggu hingga berusia 30-an atau 40-an. Alasannya sangat jelas hingga aku ragu-ragu untuk menyebutkannya satu per satu karena takut menyinggung pembacaku, tapi ini dia: Saat masih sangat muda, kita cenderung lebih tidak bertanggung jawab, lebih tidak sadar diri, lebih ceroboh, dan lebih labil secara ekonomi dibandingkan saat kita berusia lebih tua.

Yang bertolak belakang memang  saling menarik, tapi tidak selamanya bertahan.

Nyaris tidak ada hal yang lebih berharga untuk diberikan pada orang lain selain untuk menerima mereka sepenuhnya, mencintai mereka nyaris tanpa memedulikan seperti apa mereka.

“Semua manusia memiliki kekurangan”—Eleanor Roosevelt.

Semakin mandiri secara finansial, seorang wanita akan menikah dalam usia yang lebih tua, itu pun jika mereka memutuskan untuk menikah.

Selain ketidaksetiaan dan penyiksaan, tidak ada yang merusak sebuah  hubungan lebih cepat daripada kemiskinan, kebangkrutan, dan utang.

Uang memberikan masalah tersendiri—tapi uang juga memberi berbagai pilihan.

Yang menyebabkan orang-orang ragu (untuk berkomitmen bukanlah sikap pengecut. Tapi kenyataan pahit.

Perceraian sangat menyebalkan untuk anak-anak, dan hal itu bisa meninggalkan bekas luka psikologis yang susah hilang.

Tabung uangmu, bersihkan gigimu, gunakan sabuk pengaman, dan tetap sehat—dan suatu hari nanti kau akan menjadi seekor burung yang sangat bahagia.

Terkadang kehidupan memang kacau dan gagal. Kita melalukan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Kita tidak selalu tahu tindakan apa yang paling tepat.

“Sebuah perceraian mungkin dianggap sebagai sebuah kemalangan, tapi dua perceraian bisa dianggap sebagai tamparan kecerobohan.”—Oscar Wilde.


Pendapat saya secara personal; saya menyetujui dengan opini pribadi dan beberapa kutipan yang Elizabeth tulis dari berbagai pembicara atau seorang tokoh dalam bukunya ini, saya memang belum pernah menikah tetapi saya lahir dari kedua orang tua yang bercerai sejak saya berusia satu tahun. Tetapi saya percaya, “Setiap manusia memang tidak bisa memilih darimana mereka dilahirkan, tetapi mereka bisa memilih masa depan seperti apa yang mereka inginkan.” Saya ingin menganjurkan kepada pembaca untuk terlebih dahulu membaca Eat, Pray, Love sebelum membaca Comitted, dan membaca novel Committed secara keseluruhan dalam keadaan santai. Karena mungkin Anda akan merasa sangat bosan dengan novel ini.


Terima kasih. :)
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html www.lowongankerjababysitter.com www.lowongankerjapembanturumahtangga.com www.lowonganperawatlansia.com www.lowonganperawatlansia.com www.yayasanperawatlansia.com www.penyalurpembanturumahtanggaku.com www.bajubatikmodernku.com www.bestdaytradingstrategyy.com www.paketpernikahanmurahjakarta.com www.paketweddingorganizerjakarta.com www.undanganpernikahanunikmurah.com

0 komentar:

Comments
0 Comments

Post a Comment

Menarik Untuk Disimak